Wednesday, March 24, 2021

Resensi Buku : ENLIGHTENING PARENTING, 6 Tahun Pertama Periode Penting

Judul        : Englightening Parenting 6 Tahun Pertama Periode Parenting
Penulis     : Okina Fitriani, dkk
Penerbit    : Serambi Ilmu Semesta
Tebal        : 264 halaman
Cetakan Pertama, 2021


Buku ini merupakan salah satu rangkaian dari buku Enlightening Parenting yang ditulis oleh Mbak Okina Fitriani. Lalu apa bedanya buku ini dengan buku The Secret of Enlightening Parenting?

Dalam buku The Secret of EP diceritakan secara komplet konsep Enlightening Parenting (EP). Antara lain Prinsip Pengasuhan EP, EP Value, Kesalahan Pengasuhan, Tahap Perkembangan, Pola Bahasa, dll..

Naaah kalau di Buku EP 6 tahun pertama ini, dibahas secara lengkap dan mendetail bagaimana tumbuh kembang anak usia 6 tahun pertama, kunci penting untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya, dan kisah-kisah inspiratif mengaplikasikan konsep EP dalam berbagai situasi riil.

Secara umum, buku ini dibagi menjadi 3 bagian.

Bagian pertama berisi tentang konsep umum perkembangan di 6 tahun pertama. Yaitu tentang prinsip pengasuhan, kesalahan pengasuhan, tahap perkembangan, kekuatan 5 pilar, dan cara memuji dan menegur yang efektif.

Bagian kedua berisi tentang proses yang menakjubkan pada periode penting. Antara lain mengoptimalkan tumbuh kembang pada tahap sensori, tahap bahasa, dan hal-hal penting yang perlu diperhatikan saat anak berusia 2-6 tahun. Pada bagian ini juga dibahas tentang bagaimana mengisi tangki kasih sayang, meregulasi emosi, mengatasi tantrum, menyusun kurikulum adab, memulihkan pengalaman buruk, dan bagaimana memilih sekolah untuk anak.

Bagian ketiga berisi contoh konkret mengaplikasikan konsep dan teknik EP dalam berbagai situasi. Misalnya menghadapi anak susah makan, menertibkan jam tidur, mengatasi rasa takut, sibling rivalry, beradaptasi di sekolah, dll.

Buku ini sebenarnya sudah ada di reading list saya sejak bulan Februari, namun saya baru sempat menamatkannya beberapa hari yang lalu (thanks to RabuKu Kejar Menulis).

Saya merasa diingatkan kembali, terutama di bab memuji anak. Contoh-contoh pujian yang tidak efektif, justru malah sering saya lontarkan. Ya begitulah kadang apa yang dipelajari kalau ga sering dipraktikkan suka lupa yaa..

EP 6 Tahun Pertama Periode Penting, halaman 21

Situasi saat ini yang sedang relate dalam kehidupan kami adalah bagaimana menjalani proses tidur terpisah. Naufal yang usianya hampir 6 tahun masih angot-angotan untuk tidur di kamarnya sendiri. Hal ini juga disebabkan karena saya sendiri masih berat pisah tidur karena merasa belum bisa full bonding dengannya. 

Yaah gitu deh, jadi orang tua kadang emang banyak galaunya. Ada yang sama? atau aku aja yang lebay? 😅

Dan aku nemu quote yang aku banget 😁

EP 6 Tahun Pertama Periode Penting, halaman 212


Sunday, August 18, 2019

Menstimulasi Anak Suka Membaca : Sebuah Jurnal untuk Ananda

Judul tersebut adalah judul tantangan di kelas Bunda Sayang level 5.
Sengaja diberi judul yang sama, karena postingan kali ini adalah multi-tujuan :)

Selain sebagai jurnal fasilitator level 5, dan sebagai tugas setoran di Kelas Belajar Menulis, postingan kali ini juga merupakan sebuah dokumentasi perjalanan Naufal dalam belajar membaca.


Belajar Membaca?

C'mon.. He is only 4 years old baby.
Yaap. Naufal sudah bisa membaca sejak usia 3,5 tahun. 
Don't judge me :)
Kami tidak pernah memaksanya belajar membaca. Tapi dianya sendiri yang ngeyel pengen bisa membaca mandiri buku-buku yang biasanya kami bacakan.

Kami pun perlahan masuk dengan menerapkan pendekatan Montessori.



Naufal usia 1 tahun dan buku kesayangannya saat itu
Sumber : dokumentasi pribadi

Sejak bayi, kami mengenalkan Naufal kepada buku-buku dengan metode read aloud.

Setiap hari selama minimal 10 menit. Tanpa pernah absen.




Naufal usia 1,5 tahun.
Buku menjadi teman bermain

Dalam tantangan level 5 lalu, pohon literasi pun menjadi motivator untuk membuat Naufal semakin menggeluti buku-bukunya. Membuatnya lebih "ngeyel" minta dibacakan banyak buku oleh Ayah dan Bunda.


BUNDA BERKENALAN DENGAN METODE MONTESSORI

Pada bulan April 2018 lalu, bunda berkesempatan mengikuti workshop Montessori at Home yang diselenggarakan oleh Rumah Aruna. Pada workshop tersebut, dijelaskan tentang filosofi Montessori, dan 5 area dalam Montessori (next post akan ditulis lebih detail ya, Insya Allah).

Yang paling menarik perhatian Bunda adalah saat materi Languange Area. Karena pada saat itu, Naufal sepertinya sedang sensitif periode di area bahasa. Ditandai dengan ledakan kosa katanya yang cukup pesat.

Berdasarkan materi dalam workshop tersebut, Bunda mulai menerapkan metode Montessori dalam keseharian Naufal. Termasuk dalam area bahasa.

Dalam mengajarkan membaca, agar prosesnya berjalan dengan menyenangkan, diperlukan tahapan-tahapan yang tidak bisa instan.

Tahapan pertama adalah bagaimana membuat anak mencintai buku, kemudian bagaimana anak dapat memahami apa yang dibaca atau dibacakan, dan tahapan terakhir baru bagaimana mengajarkan anak membaca.



Berikut adalah tahapan-tahapan yang saya terapkan dalam menstimulasi anak suka membaca, dengan menggunakan Montessori Approach :

1. Tahap Pra Literasi

Tahapan ini bertujuan untuk memperkaya bahasa bicara anak, dan juga sebagai persiapan sebelum masuk ke dalam tahapan literasi.

Fokus kegiatannya adalah memperkuat motorik kasar dan halus anak sebagai "senjata" dalam persiapan menulis. Selain itu, menciptakan sebanyak mungkin kamus internal dalam otak anak adalah fokus kegiatan dalam tahapan pra-literasi ini.




Beberapa alternatif aktivitas pra-literasi
Dokumentasi pribadi dari instagram @diarybermain_naufal

Untuk memperkaya ledakan kosa kata, kegiatan yang kami lakukan adalah dengan bercerita. Setiap hari Naufal akan memilih sendiri buku yang harus kami bacakan dengan metode read aloud, kemudian dalam proses membacakan kami juga merangsang panca indrranya agar melakukan observasi buku secara menyeluruh, dan juga tidak lupa melakukan aktivitas after reading yang biasanya kami lakukan dengan tanya jawab singkat tentang konten yang telah kami bacakan.


2. Tahap Literasi

Pada tahap ini tujuan dasarnya adalah mengembangkan kemampuan menulis dan membaca dengan proses yang menyenangkan. Kegiatan yang kami lakukan antara lain :

- mengenalkan phonics huruf
mengenalkan phonics berarti mengenalkan bunyi huruf.
Salah satu caranya adalah dengan mengenalkan lagu phonics bahasa Indonesia. Bisa dilihat di sini yaaa videonya.

Selain melalui video tersebut, kami juga sering melakukan aktivitas montessori inspired, diantaranya :





- sand paper letter (SPL)
Sand Paper Letter adalah salah satu apparatus montessori yang bertujuan untuk mengenalankan bentuk huruf melalui memori sensory taktil mereka.

Di awal saya mendisplay Sand Paper Letter di rak bermainnya, Naufal tampak tidak terlalu tertarik. Saya hanya menunggunya, karena saya yakin akan ada masanya sendiri mereka tertarik pada hal tersebut.


Naufal tertarik main SPL di usia 3 tahun.
Video lengkap ada di IG : @diarybermain_naufal

- movable alphabet dan mencocokkan bunyi huruf dari sebuah objek
Movable alphabet ini malah menurut Naufal lebih menarik dibandingkan dengan SPL.
Melalui movable alphabet ini, banyak permainan yang bisa dilakukan. Antara lain tebak huruf awal sebuah benda, hingga building world menjadi sebuah kata sederhana


Naufal's most favorit

Small movable alphabet ini merupakan aparatus montessori yang seharusnya terbuat dari kayu. Tapi yang kami gunakan adalah versi DIY nya, yaitu berbahan artfoam.
Memang lebih mudah robek dan tidak awet, tapi cukup bermanfaaat


- membaca buku dengan kata sederhana
Ketika Naufal sudah mulai lancar dalam building word, Naufal pun mulai tertarik untuk berusaha membaca buku dengan kata-kata sederhana.

Tanpa disangka-sangka diusia 3 tahun lebih sedikit, Naufal berhasil membaca kata sederhana dengan struktur huruf konsonan-vokal-konsonan-vokal.
Bunda pun mulai membuatkan buku sederhana untuk latihan membaca.
Buku-buku sederhana tersebut kami letakkan di beberapa tempat, sehingga ketika Naufal "ingin" membaca, buku tersebut ada.

Berikut beberapa buku yang saya print dan susun, dengan bersumber dari template yang didapat dari web rumah inspirasi 


dokumentasi pribadi

NAUFAL BISA MEMBACA

Dari rangkaian kegiatan tersebut, tanpa disangka Naufal pun berhasil membaca 1 buku utuh dengan kosakata sederhana di usia 3,5 tahun.
Masya Allah Tabarakallah...
Bundanya pun kaget. Karena kami tidak pernah berekspetasi apa-apa dari kegiatan yang sudah kami lakukan sehari-hari.


dari IG @diarybermain_naufal



Perjalanan mendampingi anak-anak agar cinta membaca masih sangat panjang. Tugas kita sebagai fasilitator anak adalah memastikan caranya menyenangkan sehingga anak merasa nyaman dalam belajar.

Karena sesungguhnya kemampuan literasi adalah bukan sekedar mampu membaca, namun juga memahami apa yang dibaca.

Dengan memahami apa yang dibaca, diharapkan anak memahami "siapakah dirinya" dan kemudian mereka akan mengenal "siapa Penciptanya"

Wednesday, July 17, 2019

Resensi Buku : Pengenalan Pendidikan Waldorf Usia Pra Sekolah 3 - 7 Tahun




Judul buku : Pengenalan Pendidikan Waldorf Usia Pra Sekolah 3-7 Tahun
Penulis : Kenny Dewi
Jumlah halaman : 196


Pertama kali saya tahu buku ini ketika laman Facebook "Indonesia Waldorf Steiner Association" membuka open pre-order cetakan pertama.
Wow, saya yang saat itu sedang haus mencari tahu tentang berbagai metode pembelajaran, langsung deh tergoda.

Waldorf adalah salah satu metode pembelajaran yang membuat saya penasaran. 

Dalam buku ini, tema materi dibagi menjadi dua garis besar. Yaitu konsep pendidikan Waldorf dan yang kedua adalah bagaimana membawa konsep tersebut ke dalam praktik sehari-hari.


KONSEP PENDIDIKAN WALDORF
Dalam buku ini dijelaskan beberapa konsep dasar tentang pendidikan Waldorf, diantaranya :
1. Perkembangan anak dan 12 inderanya.

Konsep 12 Indra

2. Willing, feeling, dan proses thinking pada 7 tahun pertama kehidupan anak
3. Tentang ritme, repetisi, dan reverence/takzim


BAGAIMANA MEMBAWA KONSEP KE DALAM PRAKTIK
Dalam bab kedua, dijelaskan langkah-langkah menerapkan metode pendidikan Waldorf di dalam rumah, yaitu :
- Membangun ritme
- Pengaturan area bermain dan ruangan
- Bermain bebas imajinatif tanpa struktur atau campur tangan orang dewasa
- Circle time
- Kegiatan seni dan kerajinan
- Storytelling
Banyak contoh-contoh aplikatif yang disertai dengan gambar yang dapat dipraktikkan oleh guru dan orang tua di rumah. 


Melalui buku ini, saya belajar konsep baru tentang pembelajaran yang tidak hanya mengedepankan kecerdasan intelegensia saja, tetapi juga ada aspek rasa dan karsa di dalamnya.
Konsep pendidikan ini mengintegrasikan ilmu pengetahuan, seni dan spiritual.

Bagi Bunprof yang penasaran dengan berbagai metode belajar anak, buku ini pasti menarik sekali.
Mengenyangkan, karena setiap penjelasan dituliskan dengan gamblang dan mudah dipahami.

Sayangnya, saya kurang suka dengan pemilihan font buku.
Bila menggunakan font yang lebih standar, maka akan membuat kita lebih nyaman saat membacanya.
Tapi hal tersebut tidak menjadi hambatan saya dalam menamatkan buku ini.
Dua hari saja sudah cukup untuk membacanya sampai tamat.

Semoga resensinya bermanfaat yaa..

Thursday, October 18, 2018

Yuk Ketahui Teori Psiko-Sosial sebagai Bekal Mendampingi Keluarga Tercinta



Pada beberapa minggu yang lalu saya berkesempatan mengikuti workshop Early Childhood Educator yang dilaksanakan oleh Rumah Aruna.
Workshop tersebut bertujuan untuk membekali orang tua dengan dasar-dasar psikologi perkembangan agar mampu mengasuh dan mendidik anak secara efektif sesuai dengan tahapan perkembangannya.

Yang paling menarik bagi saya adalah saat tema Perkembangan Psiko-Sosial Erik Erikson. Dalam teori Psiko Sosial ini, Erik Erikson menggambarkan bahwa setiap situasi sosial yg dihadapi individu akan semakin membesar seiring bertambahnya usia, sehingga dalam perkembangannya pun akan ditemui konflik-konflik tersendiri.

Konflik-konflik tersebut didasari adanya kebutuhan dasar yang berbeda dalam tiap tahapan.


Berikut tahapan perkembangan psiko-sosial Erik Erikson :

1. Trust  vs Mistrust
Merupakan fase percaya – tidak percaya yang akan dialami di usia awal kehidupannya, yaitu 0 – 2 tahun.

Kebutuhan dasar pada fase ini merupakan rasa aman, nyaman dan bonding yang kuat.
Figur utama yang berperan adalah ibu, dalam momen penting : menyusui.

Ikatan emosional antara ibu dan bayi saat menyusui akan membentuk kestabilan emosi anak. Bila fase ini kurang terpenuhi, maka anak bisa menjadi seseorang yang tidak bisa percaya terhadap orang lain, dan selalu merasa tidak aman.


2. Autonomy vs Shame/Doubt
Merupakan fase otonomi – malu/ragu-ragu, dialami pada usia 2-3 tahun.

Kebutuhan dasar pada fase ini adalah kemandirian.
Momen penting dalam fase ini adalah : TOILET TRAINING.

Pada saat pembelajaran toilet training, anak belajar mengontrol secara mandiri otot di area genitalnya. Tidak ada yang bisa membantu mengontrolnya, kecuali melalui sounding dengan kalimat positif.


3.  Initiative vs Guilt
Merupakan fase inisiatif – rasa bersalah yang biasanya dialami pada rentang usia 3-6 tahun.

Pada usia toddler ini, kemampuan anak dalam mengeksplor lingkungan secara fisik maupun sosial mulai berkembang.
Sehingga kebutuhan dasarnya adalah kebebasan bereksplorasi.
Anak akan mulai dihadapkan pada konflik “apakah saya ini anak baik, atau anak nakal?”

Hindari terlalu banyak kata “JANGAN” dan ubah menjadi kalimat positif.
Beri pujian pada perilaku positif anak secara spesifik.
Apabila terlalu banyak memberi hukuman atas inisiatifnya, anak akan merasa bersalah untuk dorongan alamiahnya dalam bertindak.


4.  Industry vs inferiority
Fase ini terjadi pada usia sekolah dasar (6-12 tahun).
Yaitu fase tekun – rendah diri.

Kebutuhan dasarnya adalah berprestasi (baik dalam hal positif, maupun negatif. Baik dalam hal akademis maupun tidak)

Dalam fase ini, anak mulai timbul rasa bangga terhadap identitasnya.
Konflik yang dihadapi adalah “bagaimana caranya saya terlihat menonjol?”
Dukungan dari orang tua dan guru dalam mengapresiasi setiap prestasi kecil anak,
akan membangun perasaan kompeten dan percaya dirinya.
Sedangkan ketika si anak merasa gagal dalam fase ini akan membuat anak menjadi rendah diri dan merasa tidak kompeten, yang akan berefek pada fase selanjutnya.


5. Identity vs role confussion
Merupakan fase identitas vs kebingungan identitas.
Seorang remaja, akan dihadapkan pada konflik sosial “siapakah saya?
Yang manakah kelompok geng saya?”

Pada fase ini, anak akan mulai mencari jati diri, mereka akan mencari teman yang memiliki kesamaan dengan dirinya.

Maka dari itu dalam fase ini, orang tua tidak dapat menutup mata akan adanya pengaruh dari luar yang sangat kuat.
Jika anak dapat menemukan peran barunya dalam kelompok sosial yang positif, dan didukung oleh orang tua, makan identitas posotif akan terpenuhi.
Sedangkan bila anak kurang mendapat dukungan orang tua dan mendapat banyak penolakan terkait perannya di lingkungan sosial, maka akan tumbuh krisis identitas sehingga timbul ketidak yakinan terhadap dirinya sendiri


6.  Intimacy vs isolation
Merupakan fase terpanjang dalam tahapan psikososial, yaitu di usia 18 – 40 tahun.
Di mana kebutuhan dasarnya adalah kasih sayang.

Sehingga akan timbul konflik “apakah saya cukup disayangi? Ataukah saya dibiarkan sendiri?”

Kebutuhan dasar kasih sayang tidak hanya dapat diperoleh melalui hubungan dengan pasangan, tapi juga persahabatan, dan antar anak dengan orang tua.
Kebutuhan dasar kasih sayang sangat penting dalam mengebangkan hubungan yang sehat. Sementara kekurangan kasih sayang yang dibutuhkan, akan menimbulkan efek kesepian dan merasa terasing dari orang lain.


7.  Generativity vs stagnation
Merupakan fase bangkit – stagnan yang biasanya terjadi di usia 40 – 65 tahun.
Dimana kebutuhan dasarnya adalah aktualisasi diri.

Konflik yang sering didapatkan adalah “bagaimana saya dapat berperan untuk orang lain”.
Di mana momen penting dalam fase ini adalah di lingkungan keluarga dan pekerjaan.
Normalnya, dalam fase ini seseorang sudah mulai mapan dan nyaman.

Jika seseorang merasa tidak nyaman dalam alur kehidupannya, maka yang ada hanyalah keluhan, penyesalan dan merasa stagnan dama kehidupannya.


8.  Ego integrity vs despair
Merupakan fase terakhir dalam tahap psikososial Erikson.
Yaitu fase integritas – keputus asaan, biasanya terjadi pada usia di atas 65 tahun.

Kebutuhan dasar pada fase ini adalah makna hidup.
“Apakah saya sudah menjalani hidup yang bermakna?”
Pada usia ini, biasanya akan melakukan flashback tentang alur kehidupan yang telah dijalani.
Bila berhasil melewati tahap ini, seseorang akan mendapat kebijaksanaan.
Sedangkan bila gagal, akan menhadapi keputusasaan.



Setiap tahapan yang tidak terpenuhi, akan menjadi tantangan dalam tahapan selanjutnya.
Teori psikososial Erikson ini bisa menjadi salah satu dasar metode pengasuhan terhadap anak-anak kita, untuk membentuk karakter dan kepribadian yang positif dan mandiri.

Juga dapat digunakan dalam menganalisa kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan oleh keluarga terdekat kita.